seperti apel jenis grannysmith atau apel lokal dari malang, apel ini akan selalu terlihat hijau dan segar. terlahir untuk selalu terlihat hijau. tapi manis saat dicicip. dan melalui media tulis cyber, apel ini mencoba mengungkapkan rasa.

28.10.10

Yes, I Do!

...

This was when words were not burned into ashes by the Time

But sublimed into the sky

Re-noted by an angel in the Book of Records

Then those words became a Vow


Vows



...

February, 27th 2010


At that day, everything felt serene. The dawn was serene. Me, surrounded by my lovely family, was the one whose heartbeats drummed even the ants could hear. It was all about the ceremony me and my entire family would attend. But not an ordinary one. It was all about my wedding ceremony.


Woke up early and met my personal bridal, Tante Didi (who, of course, woke up earlier than I did). She putted make up on my face so professionally. But it was not about the make-up, the wedding dress, the guests, foods and beverages, and many other detail things that filled my mind. My mind was full of him.

It was him. He, who successfully took the whole of my heart and never returned it back, was sitting at the core of the mosque waiting for me. Sitting on the sacred place to make the vow.


Oh, by that time when started thinking about him, I suddenly felt so ashamed. It was not worth for me being nervous. He might be more nervous than me. All of the burden were on his shoulder. There were hundreds pair of eyes focusing on him.


I really wanted to run into him, and whisper on his ear, 


"My dear love, I knew you are in the middle of a giant spotlight. Here, put your gentle hands on my palms. Let me warm your freezing hands. Thanks for being here. Then I won't be a runaway bride. Because this day had been pictured night by night in my fairytale childhood dream. Because it was you."



When I sat next to you. When the old man asked me. When my brother held your right hand. When you said the vow. All of the sudden, my fairytale childhood dream became true. So real that almost made me cry. If there were the falling tear into my palm, it would say,

"Yes I do. Because it was you."

...

25.10.10

...menulis kembali...


Setelah sekian lama blog ini diendapkan, saya memutuskan untuk

…menulis kembali!!!

Semangat amat!

Ya iyalah…karena 2 tahun ini (semenjak posting terakhir) hidup saya jumpalitan. So, there’s a lot story to tell!

Pelan-pelan ya. Ok, mulai:

Akhir 2008: 
Seluruh pikiran saya terfokus ke masalah pekerjaan. Mencari pekerjaan baru. Ikut tes CPNS di sana sini. Dan akhirnya diterima di salah satunya, setelah hampir menyerah karena keseringan gagal di tahap akhir. Ya ya ya, saya percaya practice makes perfect. Bulan Desember, ada telepon pagi buta dari Jakarta. 

“Mahesa Juwita, selamat bergabung di Sekretariat Jenderal DPD RI.” 

Dan kalimat itu yang membuat saya untuk diam sejenak memikirkan langkah-langkah yang harus segera diambil sebelum 2009 datang.

Februari 2009:
Pindah ke Jakarta. Jakarta? Ya, Jakarta. Kota yang tidak pernah terlintas untuk saya tinggali. Dulu, kalau membayangkan Jakarta, kepala saya sering pusing. Panas dan hiruk pikuknya membuat bergidik ngeri. Hiiii…
Dan saya (mungkin) akan menetap di kota itu untuk waktu yang sangat lama. Mungkin sampai

…pensiun. 

gedung parlemen indonesia yang arsitekturnya lebih mirip tempurung kurakura. dan menurut saya paling unik di dunia. mungkin dibuat untuk menyentil yang bersidang di dalamnya. dan gedung ini akan menjadi penyambut saya setiap pagi sampai pensiun nanti. 

Pensiun berarti renta. Sudah terlalu tua untuk dikaryakan. Hey stop, saya baru 24!

Lived separately from my Mom and my only brother Galuh. Berat sekali. Karena kami tinggal bertiga. Berarti 3 - 1 = 2. Kalo Galuh sekolah, ibu kesepian di rumah. Sedih sekali kalo ingat itu.
Pindah ke Jakarta berarti juga cuma bisa ketemu pacar 2 minggu sekali. Hehehe. Jadi sering beli pulsa esia. Dan setiap malam mulai diisi dengan percakapan telepon, minimal durasi satu jam.

Mei 2009:

Saya dilamar! Heheeee...
Kami memutuskan untuk mengakhiri ketidakjelasan jarak. Karena kami tak suka berjauhan. Kami seperti dua bilah paru-paru. Kami seperti bilik jantung. Kami seperti dua ginjal dalam satu tubuh. Semua sistem yang baru sempurna jika terdiri dari dua.

"Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah."


Kami memutuskan berjalan searah. Tumbuh tua bersama.
Engagement. 
Upacara yang dibuat untuk formalitas. Upacara yang dibuat untuk mempertemukan dua keluarga besar secara resmi. Tanpa upacara ini pun, saya dan dia sudah memutuskan untuk berkomitmen, ketika mengungkapkan rasa satu sama lain. Dan cincin emas putih disematkan calon ibu mertua di jari manis kiri saya. 

Bagi kami berdua, bertunangan berarti mulai mengumpulkan pundi rupiah. Rupiah dalam 8 digit. Rupiah yang dihabiskan hanya satu hari saja. Karena jumlahnya besar dan hanya untuk satu hari saja, rasanya kami berdua malu untuk meminta orang tua kami menanggungnya. Sejak saat itu kami memutar otak, menyusun rencana, dan berkeringat mengumpulkan Rupiah tersebut. Berdua. Dan kami yakin kami bisa.