Setelah sekian lama blog ini diendapkan, saya memutuskan untuk
…menulis kembali!!!
Semangat amat!
Pelan-pelan ya. Ok, mulai:
Seluruh pikiran saya terfokus ke masalah pekerjaan. Mencari pekerjaan baru. Ikut tes CPNS di sana sini. Dan akhirnya diterima di salah satunya, setelah hampir menyerah karena keseringan gagal di tahap akhir. Ya ya ya, saya percaya practice makes perfect. Bulan Desember, ada telepon pagi buta dari Jakarta.
“Mahesa Juwita, selamat bergabung di Sekretariat Jenderal DPD RI.”
Dan kalimat itu yang membuat saya untuk diam sejenak memikirkan langkah-langkah yang harus segera diambil sebelum 2009 datang.
Februari 2009:
Pindah ke Jakarta. Jakarta? Ya, Jakarta. Kota yang tidak pernah terlintas untuk saya tinggali. Dulu, kalau membayangkan Jakarta, kepala saya sering pusing. Panas dan hiruk pikuknya membuat bergidik ngeri. Hiiii…
Dan saya (mungkin) akan menetap di kota itu untuk waktu yang sangat lama. Mungkin sampai
…pensiun.
gedung parlemen indonesia yang arsitekturnya lebih mirip tempurung kurakura. dan menurut saya paling unik di dunia. mungkin dibuat untuk menyentil yang bersidang di dalamnya. dan gedung ini akan menjadi penyambut saya setiap pagi sampai pensiun nanti. |
Pensiun berarti renta. Sudah terlalu tua untuk dikaryakan. Hey stop, saya baru 24!
Lived separately from my Mom and my only brother Galuh. Berat sekali. Karena kami tinggal bertiga. Berarti 3 - 1 = 2. Kalo Galuh sekolah, ibu kesepian di rumah. Sedih sekali kalo ingat itu.
Pindah ke Jakarta berarti juga cuma bisa ketemu pacar 2 minggu sekali. Hehehe. Jadi sering beli pulsa esia. Dan setiap malam mulai diisi dengan percakapan telepon, minimal durasi satu jam.
Mei 2009:
Saya dilamar! Heheeee...
Kami memutuskan untuk mengakhiri ketidakjelasan jarak. Karena kami tak suka berjauhan. Kami seperti dua bilah paru-paru. Kami seperti bilik jantung. Kami seperti dua ginjal dalam satu tubuh. Semua sistem yang baru sempurna jika terdiri dari dua.
Kami memutuskan berjalan searah. Tumbuh tua bersama.
Upacara yang dibuat untuk formalitas. Upacara yang dibuat untuk mempertemukan dua keluarga besar secara resmi. Tanpa upacara ini pun, saya dan dia sudah memutuskan untuk berkomitmen, ketika mengungkapkan rasa satu sama lain. Dan cincin emas putih disematkan calon ibu mertua di jari manis kiri saya.
Bagi kami berdua, bertunangan berarti mulai mengumpulkan pundi rupiah. Rupiah dalam 8 digit. Rupiah yang dihabiskan hanya satu hari saja. Karena jumlahnya besar dan hanya untuk satu hari saja, rasanya kami berdua malu untuk meminta orang tua kami menanggungnya. Sejak saat itu kami memutar otak, menyusun rencana, dan berkeringat mengumpulkan Rupiah tersebut. Berdua. Dan kami yakin kami bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar